HAKEKAT PEMIMPIN DALAM PANDANGAN ISLAM

HAKIKATNYA, PEMIMPIN DALAM ISLAM :
IMAM, KHALIFAH, DAN AMIR.

A.  Pendahuluan
         Sejarah telah mencatat bahwa diantara persoalan-persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama sesudah wafatnya Rasulullah SAW adalah persoalan politik atau yang biasa disebut persoalan al-Imamah (kepemimpinan).[1] Meskipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar (w. 13 H/634 M) sebagai khalifah, namun dalam waktu tidak lebih dari tiga dekade masalah serupa muncul kembali dalam lingkungan umat Islam. Kalau pada pertama kalinya, perselisihan yang terjadi adalah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, maka pada kali ini perselisihan yang terjadi adalah antara khalifah Ali bin Abi Thalib (w. 41 H/661 M) dan Mu`awiyah bin Abi Sufyan (w. 64 H/689 M) dan berakhir dengan terbunuhnya khalifah Ali dan bertahtanya Mu`awiyah sebagai khalifah dan pendiri kerajaan Bani Umayyah.[2]
         Mencuatnya persoalan-persoalan tersebut dikarenakan al-Qur`an maupun al-Hadis sebagai sumber hukum Islam tidak memberikan penjelasan secara pasti mengenai sistem pemerintahan dalam Islam, konsepsi kekuasaan dan kedaulatan serta ide-ide tentang konstitusi.[3]
         Term bahasa Arab yang secara eksplisit bermakna negara atau pemerintahan (Daulah dan Hukumah) tidak pernah disebut-sebut oleh al-Qur`an dengan pasti. Selain itu Nabi sendiri tidak memberikan konsep pemerintahan yang baku dan mapan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pemerintahan memiliki peluang yang besar untuk dikembangkan. Demikian pula bentuk negara dalam Islam bukan merupakan hal yang essensial, karena yang essensial adalah unsur-unsur, sendi-sendi, dan prinsip-prinsip dalam menjalankan pemerintahan.[4]
         Pemimpin adalah sosok yang diberi kepercayaan untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan yang lebih maju. Pada umumnya, jika pemimpin baik dan bertanggung jawab maka rakyatnya akan makmur akan tetapi jika pemimpinnya tidak baik dan tidak bertanggung jawab maka rakyat akan hidup sengsara.
              Sebagai tumpuan harapan maka tidak sedikit pemimpin yang terus-menerus disumpah serapahi oleh rakyatnya karena dianggap gagal dalam mengemban tanggung jawab. Sebaliknya, banyak juga pemimpin yang tetap melegendaris di hati rakyat karena sudah banyak berbuat untuk kepentingan mereka.
        Besarnya tanggung jawab pemimpin ini dapat dilihat ketika kata “za’im” digunakan Alquran untuk menyebut pemimpin. Kata “za’im” ini dapat juga diartikan sebagai penjamin atau sebagai penanggung jawab. Hal ini dapat dijumpai  di dalam al-Qur’an surah Yusuf ayat 72, yang berbunyi:
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9ŽÏèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOŠÏãy ÇÐËÈ
Artinya       :    Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan Aku menjamin terhadapnya".( Q. S. Yusuf : 72 ).
         Dari latar belakang di atas, penulis mencoba untuk mengungkapkan konsep kepemimpinan, yang membahas tentang istilah hakikat pemimpin, sinonim pemimpin : Iman, khlifah dan Amir.
B. Pembahasan
1.  Sinonim Pemimpin : Khalifah, Ulu al-Amri, Imam dan Malik
         Al-Qur`an menggunakan Khalifah, Ulu al-Amri, Imam dan Malik untuk pengertian pemimpin. Berikut ini akan diuraikan pengertian term-term tersebut satu persatu.
a.       Khalifah
         Dilihat dari segi bahasa, term khalifah akar katanya terdiri dari tiga huruf yaitu kha`,  lam dan fa. Makna yang terkandung didalamnya ada tiga macam yaitu mengganti kedudukan, belakangan dan perubahan.[5] Dari akar kata di atas, ditemukan dalam al-Qur`an dua bentuk kata kerja dengan makna yang berbeda. Bentuk kata kerja yang pertama ialah khalafa-yakhlifu dipergunakan untuk arti “mengganti”, dan bentuk kata kerja yang kedua ialah istakhlafa-yastakhlifu, [6] dipergunakan untuk arti “menjadikan”.
          Pengertian mengganti di sini dapat merujuk kepada pergantian generasi ataupun pergantian kedudukan kepemimpinan. Tetapi ada satu hal yang perlu dicermati bahwa konsep yang ada pada kata kerja khalafa disamping bermakna pergantian generasi dan pergantian kedudukan kepemimpinan, juga berkonotasi fungsional artinya seseorang yang diangkat sebagai pemimpin dan penguasa di muka bumi mengemban fungsi dan tugas-tugas tertentu.[7]
         Bentuk jamak dari kata khalifah ialah khalaif dan khulafa. Term khalaif dipergunakan untuk pembicaraan dalam kaitan dengan manusia pada umumnya dan orang mukmin pada khususnya. Sedangkan khulafa dipergunakan oleh al-Qur`an dalam kaitan dengan pembicaraan yang tertuju kepada orang-orang kafir.[8]
        Untuk kata khalifah ini bisa dilihat dalam al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi,
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Artinya    :    Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." ( Q.S. Al-Baqarah : 30 ).
b. Ulu al- Amr
          Istilah Ulu al-Amr terdiri dari dua kata Ulu artinya pemilik dan al-Amr artinya urusan atau perkara atau perintah. Kalau kedua kata tersebut menjadi satu, maka artinya ialah pemilik urusan atau pemilik kekuasaan. Pemilik kekuasaan di sini bisa bermakna Imam dan Ahli al-Bait, bisa juga bermakna para penyeru ke jalan kebaikan dan pencegah ke jalan kemungkaran, bisa juga bermakna fuqaha dan ilmuan agama yang taat kepada Allah SWT.[9]
          Dilihat dari akar katanya, term al-Amr terdiri dari tiga huruf hamzah, mim dan ra, ketiga huruf tersebut memiliki lima pengertian, yaitu; perkara, perintah, berkat, panji dan keajaiban.[10] Kata al-Amr itu sendiri merupakan bentuk mashdar dari kata kerja Amara-Ya`muru artinya menyuruh atau memerintahkan atau menuntut seseorang untuk mengerjakan sesuatu. Dengan demikian term Ulu al-Amr dapat kita artikan sebagai pemilik kekuasaan dan pemilik hak untuk memerintahkan sesuatu. Seseorang yang memiliki kekuasaan untuk memerintahkan sesuatu berarti yang bersangkutan memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengendalikan keadaan.[11]
          Hal yang sesuai dengan kata Ulu al-Amr dalam al-Qur’an adalah surah An-nisaa’ ayat 59 yang berbunyi,
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. ( Q.S. An-Nisaa’  :59 ).
c. Imam
         Kata Imam berakar dari huruf hamzah dan mim, kedua huruf tersebut mempunyai banyak arti, diantaranya ialah pokok, tempat kembali, jama`ah, waktu dan maksud.[12] Para ulama mendefinisikan kata Imam itu sebagai setiap orang yang dapat diikuti dan ditampilkan ke depan dalam berbagai permasalahan, misalnya Rasulullah itu adalah imamnya para imam, khalifah itu adalah imamnya rakyat, al-Qur`an itu adalah imamnya kaum muslimin.[13]
         Adapun sesuatu yang dapat diikuti dan dipedomani itu tidak hanya manusia, tapi juga kitab-kitab dan lain sebagainya. Kalau dia manusia, maka yang dapat diikuti dan dipedomani ialah perkataan dan perbuatannya. Kalau dia kitab-kitab, maka yang dapat diikuti dan dipedomani ialah ide dan gagasan-gagasannya. Tetapi jangan lupa, bahwa sesuatu yang dapat diikuti itu terbagi pada dua macam, dalam hal kebaikan dan keburukan.[14] Hal yang menunjukkan imam  ini terdapat dalam al-Qur’an surah Al-furqaan ayat 74 yang berbunyi,
tûïÏ%©!$#ur šcqä9qà)tƒ $oY­/u ó=yd $oYs9 ô`ÏB $uZÅ_ºurør& $oYÏG»­ƒÍhèŒur no§è% &úãüôãr& $oYù=yèô_$#ur šúüÉ)­FßJù=Ï9 $·B$tBÎ) ÇÐÍÈ

Artinya      :    Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ( Q.S. Al-Furqaan : 74 ).

d. Malik
         Akar kata al-Malik terdiri dari tiga huruf, yaitu mim, lam dan kaf, artinya ialah kuat dan sehat. Dari akar kata tersebut terbentuk kata kerja Malaka-Yamliku artinya kewenangan untuk memiliki sesuatu. Jadi term al-Malik bermakna seseorang yang mempunyai kewenangan untuk memerintahkan sesuatu dan melarang sesuatu dalam kaitan dengan sebuah pemerintahan. Tegasnya term al-Malik itu ialah nama bagi setiap orang yang memiliki kemampuan di bidang politik pemerintahan.[15] Malik juga berarti “yang menguasai” atau “raja”, hal ini terdapat dalam al-Qur’an surah Al-Faatihah ayat 4 dan An-Naas ayat 2, yang berbunyi,
Å7Î=»tB ÏQöqtƒ ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ
Artinya    :    Yang menguasai di hari Pembalasan. (Q.S. Al- Faatihah : 4 )

Å7Î=tB Ĩ$¨Y9$# ÇËÈ
Artinya    :    Raja manusia. ( Q.S. An-Naas : 2 ).

2.  Tanggungjawab seorang Pemimpin
          Menurut Abd. Wahab dan umiarso dalam bukunya Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spritual menjelaskan, bahwa kepemimpinan adalah suatu kegiatan mempengaruhi orang lain agar orang tersebut mau bekerja sama (mengolaborasi dan mengelaborasi potensinya) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan juga sering dikenal sebagai kemampuan untuk memperoleh konsensus anggota organisasi untuk melakukan tugas manajemen agar tujuan organisasi tercapai.         
          Pemimpin adalah sosok yang paling bertanggung jawab terhadap kehidupan bangsanya. Jika suatu bangsa mundur maka pemimpin harus bertanggung jawab atas kemunduran tersebut dan pantas mendapatkan konsekwensi. Sebaliknya, jika suatu bangsa maju maka pemimpin berhak untuk mendapat penghargaan.[16]
     Pada dasarnya dalam al-Qur’an Allah telah menjelaskan bahwa kita sebagai manusia akan dimintai pertanggungjawab terhadap tindakan kita di dunia, hal ini selaras dengan firman Allah SWT dalam al-Qur;an Surah Al-Muddatstsir ayat 38, yang berbunyi,
@ä. ¤§øÿtR $yJÎ/ ôMt6|¡x. îpoYÏdu ÇÌÑÈ
Artinya      :    “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang Telah diperbuatnya,” (Q.S. Al-Muddatstsir : 38 )
        
         Mengingat besarnya tanggung jawab tersebut maka sosok pemimpin haruslah orang yang paling memahami tanggung jawab dan harus yang terbaik pula dalam berbagai hal di antara rakyatnya. Dengan kata lain, pemimpin haruslah sosok yang memiliki banyak kelebihan bila dibanding dengan rakyat yang dipimpinnya.
         Besarnya pengaruh pemimpin dalam menentukan nasib rakyat membuat munculnya beberapa mekanisme untuk memilih pemimpin. Mekanisme ini dilakukan guna untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki tanggung jawab terhadap maju dan mundurnya kehidupan rakyat.
         Oleh karena itu, kemiskinan dan kebodohan serta keterbelakangan suatu bangsa adalah tanggung jawab pemimpin dari bangsa itu sendiri. Dengan demikian, pemimpin wajib mengetahui keberadaan rakyatnya dan tidak cukup hanya sekadar mendengar laporan saja.
         Dalam hal kepentingan rakyat pemimpin yang bertanggung jawab harus berada pada garda terdepan untuk memajukan bangsanya. Salah satu upaya untuk menuju kemajuan adalah memilih pemimpin yang memiliki kemampuan menjalankan tugasnya dengan baik. Tanggung jawab seseorang berkait erat dengan kewajiban yang diembannya. Makin tinggi kedudukannya di masyarakat, makin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas prilaku diri, keluarga, saudara-sudara, masyarakat dan rakyatnya.
          Menurut James A. F. Stonen yang dikutip oleh Veithzal Rivai, tugas utama seorang pemimpin adalah:
a.    Pemimpin bekerja dengan orang lain: Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk bekerja dengan orang lain, salah satu dengan atasannya, staf, teman sekerja atau atasan lain dalam organisasi sebaik orang di luar organisasi.
b.    Pemimpin adalah tanggung jawab dan mempertanggungjawabkan (akuntabilitas): Seorang pemimpin bertanggung jawab untuk menyusun tugas menjalankan tugas, mengadakan evaluasi, untuk mencapai outcome yang terbaik. Pemimpin bertanggung jawab untuk kesuksesan stafnya tanpa kegagalan.[17]

Dalam sebuah hadis dikatakan:
   حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya       :    “Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban  perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya.” (HR. Bukhori, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dari Ibnu Umar).[18]
        
Dalam sejarah riyadhus shalihin dijelaskan, bahwa seorang wajib menegakkan keadilan dalam diri dan keluarganya, dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Adil dalam dirinya dengan tidak memberatkan pada sesuatu yang tidak diperintahkan Allah, dia harus memperhatikannya hingga kepada masalah kebaikan, jangan memberatkan dan membebankannya terhadap sesuatu yang tidak mampu dilakukannya.
          Demikian juga wajib bersikap adil bagi seorang suami terhadap keluarganya. Seperti orang yang memiliki dua orang istri, ia wajib bersikap adil diantara keduanya. Dan wajib pula bersikap adil kepada anak-anaknya. Begitu pula bagi seorang istri yang juga seorang pemimpin dalam rumah suaminya. Baik dalam menjaga harta suaminya dan tidak menghambur-hamburkannya.[19]
          Dan juga telah dijelaskan dari Hadits ma’qil bin Yasar, dari hasan bahwasanya Ubaidillah bin yazid mengunjungi Ma’qil bertanya kepadanya: bahwasanya saya akan ceritakan kepadamu suatu hadits yang saya dengar dari Rasulullah saw saya mendengar nabi saw bersabda: “tidak ada seorang hamba yang diberi tugas oleh Allah untuk memelihara segolongan rakyat, lalu ia tidak melakukan sesuai dengan petunjuk, melainkan ia tidak memperoleh bau saya”.[20]
         Dalam syarah riyadhus shalihin yang dijelaskan oleh syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, wajib bagi seorang yang memegang tonggak kepemimpinan untuk bersikap lemah lembut kepada rakyatnya, berbuat baik dan selalu memperhatikan kemaslahatan mereka dengan mempekerjakan orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Menolak bahaya yang menimpa mereka. Karena seorang pemimpin akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya dihadapan Allah ta’ala.       
     
C. Ancaman Mengabaikan Tanggungjawab
         Pada dasarnya masyarakat selalu membutuhkan keberadaan pemimpin dalam kehidupannya sehari-hari. Demikian pula dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin atau kepala keluarga, begitu pula halnya di mesjid sehingga shalat berjamaah bisa dilaksanakan dengan adanya orang yang bertindak sebagai imam, bahkan perjalanan yang dilakukan oleh tiga orang muslim, harus mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin perjalanan. Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala yang kecil apalagi skala yang besar. Untuk tujuan memperbaiki kehidupan yang lebih baik, seorang Muslim tidak boleh mengelak dari tugas kepemimpinan, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Barangsiapa yang diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang-orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat. (H. R. Ahmad).
         Oleh karen itu pemimpin memiliki kedudukan yang sangat penting, karenanya siapa saja yang menjadi pemimpin tidak boleh dan jangan sampai menyalahgunakan kepemimpinannya untuk hal-hal yang tidak benar. Karena itu, para pemimpin harus mengetahui hakikat kepemimpinan yang sebenarnya, yaitu menurut pendangan islam kepemimpinan merupakan tanggung jawab bukan keistimewaan.[21]
         Di dalam al-Qur’an bahwa Allah akan memintakan pertanggungjawaban dari semua amanah yang telah Dia embankan kepada hambaNya. Tidak ada yang dibiarkan olehNya kecuali setiap kita  akan ‘diberondong’ dengan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dan saat itu tak ada satu makhlukpun yang bisa untuk berdusta. Hal ini senada dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Hijr ayat 92-93 yang berbunyi,
šÎn/uuqsù óOßg¨Yn=t«ó¡oYs9 tûüÏèuHødr& ÇÒËÈ $¬Hxå (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÒÌÈ
Artinya       :    “Maka demi Tuhanmu, kami pasti akan menanyai mereka semua.Tentang apa yang Telah mereka kerjakan dahulu”.( Q.S. Al-Hijr : 92-93 ).

Pada ayat ini Allah bersumpah, dan dalam kaedah ilmu al-Quran dijelaskan, setiap  kali Dia mengawali ayat-ayat al-Quran dengan huruf qosam (huruf yang menunjukan sumpah) maka sesungguhnya Allah ingin memberikan ‘stressing’ lebih kepada makna yang terkandung pada ayat tersebut.
Ancaman Allah dalam al-Quran buat mereka yang ‘gagal’ dalam mengemban amanah dariNya, baik sebagai imam (pemimpin pemerintahan), suami, istri, majikan dan bahkan sebagai pembantu, melebihi sejuta kali ngerinya dan sengsaranya daripada ancaman hukuman yang berlaku di Indonesia. Mereka akan ‘dipenjara’ dalam kurungan api yang berkobar, mereka akan di siksa, mereka akan diberi makan dari batang pohon yang berduri, setiap kali memakannya maka duri-duri tersebut akan tertancap dimulut dan lidahnya, mereka akan diminumkan dari air campuran darah dan nanah yang panas dan akan membakar kerongkongan, dan yang paling mengerikan bahwa mereka
akan selamanya dalam siksaan.
Ancaman ini adalah nyata dan benar-benar akan terjadi pada waktunya nanti, bahkan berkali-kali Allah ingatkan ancaman tersebut didalam firman-firman Nya.
Maka mereka yang benar-benar sayang pada dirinya akan terus berusaha menunaikan amanah apapun yang didapatkannya dari Allah, inilah yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz ketika rela dalam gelap gulita karena tak ingin menyalakan pelita dengan minyak negara untuk urusan pribadi yang padahal kala itu beliau sebagai ‘presiden’nya. Beliau takut tak mampu mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah SWT.
Setiap kita pemimpin, maka waktunya akan tiba, suka atau tidak suka, kita akan duduk dibangku ‘pesakitan’ di hari akhirat dan semua yang pernah dilakukan di dunia ini akan ditanyakan secara detail, tak ada sedikitpun yang terlewat,  ada ancaman dan ada janji indah yang telah disiapkan, dan semua keputusan ada dalam “genggaman”-Nya.[22]
Tanggung jawab seorang pemimpin untuk menjalankan tugasnya sangatlah besar. Terlebih juga, mereka masih harus mempertanggung jawabkan semuanya di hadapan Allah kelak. Menjadi pemimpin bukanlah pekerjaan mudah dan sesederhana yang kita pikirkan. Banyak pemimpin-pemimpin saat ini yang mengabaikan itu semua, mereka lebih memikirkan penghasilan yang akan mereka dapatkan jika mereka berhasil menjadi pemimpin. Namun setelah jabatan pemimpin telah mereka dapatkan, mereka akan lupa akan tugas dan janji-janji yang mereka katakan. Hal itu hanya seperti omongan kosong belaka. Padahal,  Allah SWT menyatakan dalam QS. Yaasiin ayat 12 Yang berbunyi,
$¯RÎ) ß`øtwU ÌÓ÷ÕçR 4tAöqyJø9$# Ü=çGò6tRur $tB (#qãB£s% öNèdt»rO#uäur 4 ¨@ä.ur >äóÓx« çm»uZøŠ|Áômr& þÎû 5Q$tBÎ) &ûüÎ7B ÇÊËÈ
Artinya: “Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami menuliskan apa yang Telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh)”. ( Q.S. Yasiin : 12 ).

Ayat ini menegaskan bahwa tanggangjawab itu bukan saja terhadap apa yang diperbuatnya akan tetapi melebar sampai semua akibat dan bekas-bekas dari perbuatan tersebut. Orang yang meninggalkan ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah atau anak yang sholeh, kesemuanya itu akan meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapanpun. Dari sini jelaslah bahwa orang yang berbuat baik atau berbuat jahat akan mendapat pahala atau menanggung dosanya ditambah dengan pahala atau dosa orang-orang yang meniru perbuatannya[23]. Hal ini ditegaskan dalam Surat An Nahl 25 yang berbunyi,
(#þqè=ÏJósuÏ9 öNèdu#y÷rr& \'s#ÏB$x. tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$#   ô`ÏBur Í#y÷rr& šúïÏ%©!$# OßgtRq=ÅÒムΎötóÎ/ AOù=Ïã 3 Ÿwr& uä!$y $tB šcrâÌtƒ ÇËÎÈ

Artinya: “(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat dan sebagian dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah amat buruklah dosa yang mereka pikul itu.” ( Q.S. An-Nahl : 25 ).
         Dengan demikian apakah masih ada keinginan dari kita untuk menjadi pemimpin yang hanya bisa menjual kata-kata saja?. Sebaiknya pikirkan akibatnya dan yang pasti DOSAnya, oleh karena itu apabila menjadi pemimpin maka hendaknya menjalankan tugasnya dengan baik dan jangan mengabaikan tanggung jawab sebagai seorang pemimpin,  jadilah pemimpin yang senantiasa mengemban amanah rakyat dengan baik.

C. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sinonim dari pemimpin adalah khalifah, ulu al-amr, imam dan malik, yang pada intinya seorang pemimpin itu harus menyeru kebajikan, menegakkan keadilan dan menolak kedzaliman serta bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Seorang pemimpin juga tidak boleh mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin dan senantiasa mengemban amanah rakyat dengan sebaik mungkin karena pada dasarnya apa yang telah kita perbuat akan di minta pertanggung jawabannya di hadapan Allah SWT kelak di akhirat.





\














DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Abi al-Husain Ibn Faris Zakariyya. Mu`jam Maqayis al-Lughah. Juz II,  t.tp.,: Dar al-Fikr, 1979.
al-Ashfahani, al-Raghib. Mufradat Alfadz al-Qur`an. Damsyiq: Dar al-Qalam, 1992.
Fuad Muhammad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr, Cet. IV, 1997 M/1418 H.
------------------------.  Al-Lu’lu Wal Marjan. Semarang: Al-Ridha, 1993.
http://ustadzsyarifmatnadjih.wordpress.com/20/03/2014/"kajian-dari-al Qur'an"/.
http://ervakurniawan.wordpress.com/02/04/2014/tanggung-jawab-dalam-islam/.
Muhammad Abu al-Fath bin Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahratsani. al-Milal wa al-Nihal. Mesir: Mushtafa al-Babi wa Auladuh, 1387 H, Cet I.
Muin Abd. Salim. Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra. Perkembangan Modern dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor, 1985.
Rivai, Veithzal. Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Organisasi. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Sirojuddin M. Syamsuddin. “Pemikiran Politik” (Aspek yang Terlupakan dalam Sistem Pemerintahan Islam), dalam Refleksi Pembaharuan Islam. Jakarta: LSAF, 1989.
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin. Syarah Riyadhus Shalihin, Jilid 2, Cet. 2. Jakarta Timur: Darussunnah Press, 2009.
Wahab Abd. dan Umiarso. Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spritual. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.






[1] Abu al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahratsani, al-Milal wa al-Nihal (Mesir : Mushtafa al-Babi wa Auladuh, 1387 H), Cet I, hal. 24.
[2] Ibid
[3] M. Sirojuddin Syamsuddin, “Pemikiran Politik” (Aspek yang Terlupakan dalam Sistem Pemerintahan Islam), dalam Refleksi Pembaharuan Islam (Jakarta : LSAF, 1989), hal. 252.

[4] Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta : Yayasan Obor, 1985), hal. 10.

[5] Abi al-Husain Ahmad Ibn Faris Zakariyya, Mu`jam Maqayis al-Lughah, Juz II  (t.tp., : Dar al-Fikr, 1979), hal. 210.
[6] Al-Qur`an menggunakan bentuk istakhlafa-yastakhlifu pada lima ayat (QS. al-Nur;55, al-An`am;133, Hud;57, dan al-A`raf;129), selain itu menggunakan bentuk khalafa-yakhlifu dibanyak ayat, Lihat Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu`jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur`an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. IV, 1997 M/1418 H), hal. 303-306.
[7] Abd Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur`an (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 114.

[8] Ibid., hal. 111.
[9] al-Raghib al-Ashfahani, Mufradat Alfadz al-Qur`an (Damsyiq: Dar al-Qalam, 1992), hal. 90.
[10] Ibn Faris, Op. Cit., hal. 137.
[11] Abd Muin Salim, Op. Cit., hal. 231.
[12] Ibn Faris, Op. Cit., Juz I, hal. 21.
[13] Ibid., hal. 28.
[14] al-Raghib al-Ashfahani,  Op. Cit., hal. 87.
[15] Ibn Faris, Op. Cit., Juz V, hal. 351.
[16] Abd. Wahab dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan dan Kecerdasan Spritual (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 89.
[17] Veithzal Rivai, Pemimpin dan Kepemimpinan Dalam Organisasi (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal. 18.
[18] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Lu’lu Wal Marjan (Semarang: Al-Ridha, 1993), hal. 562-563.
[19] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalihin, Jilid 2, Cet. 2 (Jakarta Timur: Darussunnah Press, 2009), hal. 1030-1031.
[20] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Op. Cit., hal. 263-264
[21] Veithzal Rivai, Op. Cit., hal. 58.
[22] http:// ustadzsyarifmatnadjih.wordpress.com/20/03/2014/"kajian-dari-al Qur'an"/
[23] http://ervakurniawan.wordpress.com/02/04/2014/tanggung-jawab-dalam-islam/

0 Response to "HAKEKAT PEMIMPIN DALAM PANDANGAN ISLAM"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel